
Pendahuluan
Dalam lingkup global kita melihat sebuah pola yang terjadi tidak hanya di satu negara tetapi terjadi di banyak negara, naiknya popularitas ideologi nasionalisme seolah-olah menjadi sebuah tren yang terjadi saat ini, mulai dari naiknya partai nasionalis di India dan terpilihnya perdana menteri Narendra Modi, Amerika dengan terpilihnya Trump, Brazil, kebijakan perdana menteri Jepang yang nasionalis, keberhasilan partai sayap kanan di Italia, pemilu Jerman dan Austria di tahun 2017 dan 2018, bahkan terpilihnya presiden Prabowo di pemilu 2024 memberikan kesan bahwa pemahaman nasionalisme sedang populer di beberapa tahun belakangan ini.
Setelah kegagalan Marine Le Pen pada pemilihan presiden di Perancis dan turunnya perolehan suara partai BJP India pada pemilu 2024, beberapa media berpendapat bahwa gelombang nasionalisme dan populisme sudah mulai berkurang. Tentu saja kedua pandangan tersebut menyesatkan dan kurang benar, dunia tidak sedang dalam fase gelombang nasionalisme dan populisme yang tidak dapat dihindari dan juga nasionalisme di dunia tidak dalam penurunan, dunia memiliki begitu banyak variabel sehingga kita tidak bisa langsung menyimpulkan dunia sedang berada dalam gelombang nasionalisme. Dan bahkan jika memang benar adanya, dunia begitu beragam untuk membentuk satu gerakan yang koheren.
Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi politik di India tidak hanya berdampak terhadap perubahan kebijakan dalam skala domestik, tetapi juga mengubah orientasi kebijakan luar negeri mereka. Salah satu hal yang menonjol dalam dinamika politik India beberapa tahun terakhir adalah kenaikan tajam popularitas Partai Bharatiya Janata Party (BJP), yang tidak hanya mempengaruhi arah politik domestik, tetapi juga mempengaruhi arah kebijakan luar negeri India.
Setelah memperoleh dukungan politik dan suara mayoritas pada pemilu yang diselenggarakan tahun 2014 lalu, Partai BJP kembali memperkuat dominasinya dengan mengikuti pemilu dan kembali terpilih pada tahun 2019 dan 2024. Kemenangan beruntun partai BJP mencerminkan legitimasi politik yang kuat sekaligus memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri yang selaras dengan ideologi nasionalis-Hindu yang diusung oleh partai tersebut.
Partai BJP yang menganut ideologi nasionalis-Hindu diprakarsai oleh Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) yang sejak lama telah menganut prinsip Hindutva. Hindutva merupakan sebuah konsep yang menekankan primasi identitas Hindu dalam membentuk bangsa India. Meskipun pada awalnya partai ini merupakan partai sayap kanan minoritas di India, dalam kurun waktu dua dekade terakhir BJP mampu memperluas basis dukungannya melalui strategi politik yang canggih, pembangunan narasi yang kuat, dan memanfaatkan media digital secara efektif. Kebijakan luar negeri India semasa kepemimpinan Jawaharlal Nehru dikenal dengan pendekatan non-blok dan pragmatisme strategis. Kebijakan luar negeri India yang sekarang menunjukkan ciri – ciri yang lebih asertif, simbolis dan berorientasi pada identitas nasional. Diplomasi India tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keamanan dan ekonomi negara tetapi juga ambisi India untuk menjadi aktor yang memiliki peran sentral dalam tatanan global.
Sejarah Singkat Bharatiya Janata Party (BJP) di India
1. Ideologi Nasionalis-Hindu India
Partai BJP di India merupakan partai dengan ideologi Nasionalis-Hindu, sebelum kita berbicara soal sejarah terbentuknya partai BJP kita mesti mengetahui terlebih dahulu mengenai Nasionalisme-Hindu yang ada di India, Nasionalis-Hindu di India dibedakan dari sisi sekularismenya, hal ini didasarkan dari sebuah gagasan bahwasannya sekularisme merupakan sebuah gagasan penipuan yang berasal dari antek asing yang dilakukan oleh anggota kongres elit pada masa kemerdekaan, sebuah gagasan yang mengaburkan identitas dan kebudayaan Hindu di India yang dipercaya sebagai identitas India yang sebenarnya. Para pendukung nasionalis-Hindu di India percaya bahwasannya Hinduisme adalah sumber utama dari identitas nasional di India.
Dikutip dari Vinayak Damodar Savarkar, penulis dan juga aktivis politik yang dianggap tulisannya merupakan pondasi awal bagi orang - orang nasionalis-Hindu, India pada akarnya merupakan negara dengan identitas dan kebudayaan Hindu. Orang Hindu, dapat dikategorikan sebagai siapapun yang mengakui kedaulatan wilayah India sebagai tanah air (Fatherland) dan juga tanah suci mereka, orang - orang Hindu, Sikh, dan Buddhist memenuhi dua kriteria tersebut, sedangkan masyarakat dengan agama Kristen, Yahudi, Parsis dan muslim tidak masuk kedalam kategori tersebut dikarenakan mereka merupakan golongan yang tidak mengakui India sebagai tanah suci mereka.
Manifestasi politik Hindutva sudah bisa kita lihat jauh disaat gerakan reformasi Hindu seperti gerakan Brahmo Samaj di tahun 1828 dan gerakan Arya Samaj di tahun 1875. Mereka menginginkan kembalinya era kejayaan Hindu dan kebudayaan yang kuat, untuk mencapai itu kemudian mereka menjalankan dua strategi yaitu membuat stigma dan emulasi. Untuk menjadikan Hinduisme lebih teratur dan kokoh, pemimpin gerakan sosial tersebut kemudian menjadikan masyarakat muslim dan kristen sebagai momok dan ancaman, hal ini membuat masyarakat lebih bisa melihat ancaman terhadap identitas Hindu di India dan membuat sebagai motivasi yang dilandasi ancaman.
Gerakan reformasi ini kemudian bertransisi dari yang awalnya kelompok gerakan reformasi Hindu menjadi kelompok kepentingan pro-Hindu yang memberikan tekanan dari dari kepada anggota kongres. Walaupun faksi yang lebih moderat terus menjalankan upayanya dalam mengarahkan arah ideologi kongres, faksi yang lebih ekstrim menjadi tidak sabaran dan pada tahun 1914, faksi ini kemudian membentuk kelompok penekan dalam kongres yang disebut Hindu Mahasabha, kelompok ini nantinya akan menjadi entitas politik yang terpisah. Walaupun kelompok tersebut lebih berfokus mengkritik orang - orang British, muslim di India juga terkadang menjadi target kritisi dari kelompok ini.
2. Pasca Kemerdekaan
Tidak lama setelah India mendapatkan kemerdekaannya, pembuatan draft undang - undang kemudian di rancangkan dengan tujuan membuat kembali aturan yang berkaitan dengan Hindu, mulai dari urusan pernikahan sampai dengan hak mengenai barang pribadi. Kelompok Hindu yang digerakkan oleh kelompok RSS dan kelompok Bharatiya Jan Sangh (BJS) yang merupakan kelompok politik yang nantinya akan menjadi partai politik Bharatiya Janata Party (BJP), kelompok - kelompok ini menentang intervensi pemerintah dalam mengurusi hal terkait urusan agama ditambah dengan pemerintah yang dirasa kurang aktif dalam mengurusi hukum terhadap kelompok masyarakat Islam dan kepercayaan lainnya.
Pada dua puluh satu bulan masa kritikal di bawah kepemimpinan Indira Gandhi pada 1975 dan di tengah protes massa terhadap Gandhi dan kebijakan Partai Kongres, dua kejadian itu menjadi titik balik bagi kelompok politik BJS. Pada waktu itu banyak tokoh penting termasuk tokoh yang punya afiliasi dengan partai sayap kanan di tangkap dan di persekusi di masa tergelap India tersebut. Gandhi kemudian mengalah dan mengumumkan kembali pemilihan di tahun 1977, partai koalisi oposisi yang dikenal juga dengan nama Janata alliance yang salah satu anggotanya adalah BJS tersapu masuk ke dalam kekuasaan, itu adalah satu - satunya masa setelah 1977 partai non kongres memegang kendali kekuasaan.
Setelah dua tahun berlalu, experimen janata ini kemudian runtuh karena sifat kontradiktifnya, aliansi yang opportunistic ini bersatu karena sama - sama tidak senang dengan partai kongres namun terpecah karena perbedaan kepemimpinan dan kebijakan, aliansi Janata juga sedari awal sudah tercemar oleh pemikiran factionalisme. Walaupun pembentukan koalisi tersebut berakhir dengan kegagalan, hal tersebut tetap menempatkan pemimpin BJS untuk bisa merasakan pertama kalinya memerintah secara singkat. Pada tahun 1980 kelompok politik BJS kemudian berubah menjadi BJP di bawah kepemimpinan Atal Bihari Vajpayee. Secara elektoral, mereka kesulitan dalam membangun impresi yang baik, hal ini terbukti dengan partai BJP yang hanya mendapatkan dua kursi saja pada pemilu di tahun 1984. Mereka kemudian bimbang dalam memilih pendekatan yang lebih militan atau moderat guna mencari simpatisan dan pemilih.
3. Kebangkitan BJP (1989–2014)
Meskipun menghadapi tantangan awal, BJP mulai bangkit di akhir 1980-an melalui kampanye Ram Janmabhoomi yang meminta pembangunan kuil Rama di Ayodhya. Kampanye ini membuat basis pemilih Hindu semakin besar dan meningkatkan jumlah kursi partai di pemilu 1989 menjadi 85, lalu naik lagi menjadi 120 pada 1991. Di bawah pimpinan Lal Krishna Advani, BJP mendorong ideologi Hindutva secara lebih kuat, termasuk acara Rath Yatra pada 1990—perjalanan menggunakan mobil berbentuk kereta yang memicu kerusuhan tapi juga menyatukan pemilih Hindu. Penghancuran Masjid Babri pada 6 Desember 1992 oleh relawan Hindu menjadi titik puncak, menyebabkan kerusuhan nasional, tetapi juga memperkuat BJP di Uttar Pradesh.
Kemenangan koalisi pada 1998–2004 di bawah kepemimpinan Atal Bihari Vajpayee memungkinkan BJP menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih tegas, seperti uji coba nuklir Pokhran-II pada Mei 1998 (Operasi Shakti).
Uji coba ini menjadikan India sebagai kekuatan nuklir de facto, memicu sanksi AS, tapi juga meningkatkan citra nasional. Pemerintahan NDA juga mengusung kebijakan "Look East Policy" dan memperkuat hubungan dengan Israel. Namun, kekalahan pada 2004 akibat kampanye "India Shining" yang dinilai tidak memperhatikan masalah kemiskinan pedesaan membuat BJP kehilangan kursi dan turun menjadi 138 kursi. Selama periode oposisi 2004–2014, BJP melakukan reorganisasi, dengan Narendra Modi yang menjadi Gubernur Gujarat (2001–2014) membangun citra sebagai tokoh pembangunan meski terlibat kontroversi kerusuhan 2002.
Pemilu 2014 membawa kembali kekuatan BJP setelah kampanye anti-korupsi pasca-skandal 2G dan Commonwealth Games, janji "Achhe Din", dan penggunaan teknologi hologram untuk menjangkau banyak pemilih.
BJP memenangkan mayoritas mutlak pertama dalam tiga dekade, 282 kursi, lalu 303 kursi pada 2019 karena narasi keamanan nasional setelah serangan Pulwama dan Balakot. Pada 2024, meski kursi berkurang menjadi 240 akibat isu pengangguran, inflasi, dan protes petani, BJP tetap berkuasa melalui koalisi NDA. Partai ini fokus pada pencapaian seperti penghapusan Pasal 370 (2019), UU Kewarganegaraan (CAA), dan proyek infrastruktur.
Pengaruh Popularitas BJP terhadap Kebijakan Luar Negeri India
1. Perubahan Paradigma: Dari Non-Blok ke Multi-Alignment Asertif
Popularitas BJP yang meningkat sejak tahun 2014 telah mengubah arah kebijakan luar negeri India secara signifikan, dari pendekatan non-blok dan pragmatis sebagaimana dijalankan oleh Nehru menjadi pendekatan yang lebih tegas, berbasis identitas, dan lebih berfokus pada nilai-nilai Hindutva. Dalam pemerintahan Modi, diplomasi India mulai mengintegrasikan ide-ide nasionalis-Hindu, seperti penekanan pada konsep "Bharat Mata" (Ibu India), penggunaan simbol-simbol Hindu seperti Ramayana dalam berbagai pidato internasional, serta mempromosikan India sebagai "Vishwa Guru" (guru dunia). Perubahan ini dapat dilihat dari pidato Modi di Madison Square Garden pada 2014 dan Wembley Stadium pada 2015, yang berhasil membangkitkan semangat komunitas diaspora Hindu di luar negeri.
Kebijakan luar negeri ini mencakup konsep "Neighborhood First" yang secara simbolis diwujudkan dengan mengajak pemimpin negara-negara SAARC hadir dalam upacara pelantikan Modi pada 2014.
Namun, kebijakan ini juga menampilkan sikap tegas, seperti serangan militer pasca-insiden Uri tahun 2016 yang disebut "Surgical Strike" dan serangan udara Balakot pasca-insiden Pulwama tahun 2019, yang kemudian dijadikan bagian dari narasi nasional seperti "56-inch chest" (badan kuat) dan "chowkidar" (penjaga). Terhadap Tiongkok, BJP mendorong pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan (proyek BRO), pengembangan kekuatan pertahanan melalui program Atmanirbhar Bharat, serta respons keras setelah bentrokan Galwan 2020 (20 tentara India gugur), termasuk melarang lebih dari 200 aplikasi asal Tiongkok dan memperluas kerja sama dagang ke negara-negara seperti Vietnam dan Taiwan.
2. Dimensi Regional: SAARC, BIMSTEC, dan Ketegangan dengan Pakistan & China
Di Asia Selatan, popularitas Partai BJP membuat hubungan dengan Pakistan semakin buruk, karena menghentikan dialog setelah insiden Pathankot (2016) dan menolak bantuan mediasi dari Amerika Serikat. Namun, BJP justru memperkuat BIMSTEC sebagai alternatif dari SAARC yang tidak berkembang. Dengan Bangladesh, meskipun ada kerja sama ekonomi, seperti penundaan pembagian air dari Sungai Teesta, isu CAA/NRC memicu protes terhadap India. Malaysia dan Turki juga dikritik karena mendukung Kashmir, menunjukkan bagaimana isu kebijakan dalam negeri berupa Hindutva memengaruhi hubungan luar negeri.
3. Dimensi Global: Quad, G20, dan Soft Power Hindutva
Di tingkat dunia, BJP melakukan diplomasi dengan cara pribadi: seperti pelukan "Modi hug" dengan Trump, Obama, dan Xi; investasi di Teluk, contohnya UAE memberikan gelar Zayed Medal 2019 kepada Modi; serta membangun pengaruh lembut melalui International Solar Alliance, Vaccine Maitri (mengirim vaksin COVID-19 ke lebih dari 100 negara), dan mempromosikan yoga (Hari Yoga Internasional yang dimulai sejak 2015). Quad juga diperkuat sebagai lawan seimbang dari Tiongkok, dengan latihan bersama Malabar dan berbagi teknologi. India juga memperkuat klaimnya untuk duduk di Dewan Keamanan PBB dan memimpin G20 2023 dengan tema "Vasudhaiva Kutumbakam" (dunia sebagai satu keluarga)—frasa dalam bahasa Sanskerta yang mencerminkan identitas Hindu.
4. Kontroversi: Saffronisasi Diplomasi dan Dampak pada Minoritas
Namun, gerakan Hindutva menimbulkan kontroversi. Acara Diwali yang digelar di kedutaan India di berbagai tempat mendominasi, usaha mengurangi penggunaan bahasa Inggris demi mendorong bahasa Hindi, serta penunjukan diplomat yang mendukung RSS menjadi sorotan. Beberapa kritikus seperti Shashi Tharoor mengatakan ini merusak netralitas negara. Di dalam negeri, kebijakan seperti CAA (Citizenship Amendment Act) dinilai diskriminatif dan berdampak pada hubungan dengan negara-negara Muslim. Meski pada 2024 Partai BJP kehilangan mayoritas, mereka tetap memanfaatkan prestasi di luar negeri, seperti kenaikan peringkat kemudahan berbisnis dari 134 (2014) menjadi 63 (2020), serta peningkatan ekspor pertahanan hingga 700%, sebagai bagian dari kampanye mereka.
Analisis Kritis: Faktor Keberhasilan dan Tantangan
Kebiasaan BJP berhasil karena gabungan popularitas di dalam negeri (ekonomi dan keamanan) serta citra positif di dunia luar (prestise global). Namun, ada beberapa masalah yang muncul: ketergantungan pada koalisi setelah tahun 2024, protes dari petani yang tidak senang dengan reformasi pertanian, tingkat pengangguran pemuda yang tinggi (23% pada tahun 2023), serta kritik dari luar negeri terhadap sistem demokrasi (menurut V-Dem, India disebut sebagai "electoral autocracy" sejak tahun 2018). Di luar negeri, sikap tegas berpotensi memicu konflik dengan Tiongkok dan Pakistan, serta membuat tetangga merasa tidak nyaman.
Kesimpulan
Popularitas BJP, yang didasarkan pada ideologi Hindutva, telah mengubah kebijakan luar negeri India menjadi alat untuk mengubah bangsa, menggabungkan strategi yang realistis dengan cerita tentang identitas Hindu untuk menunjukkan kekuatan di tingkat dunia. Meskipun menghadapi tantangan seperti ketergantungan dalam koalisi setelah 2024, kritik terhadap dampaknya terhadap kelompok minoritas, dan risiko konflik di wilayah regional, pendekatan ini telah meningkatkan pengaruh India—dari sekadar pemain regional menjadi pemain global. Perubahan ini menunjukkan perpindahan dari diplomasi yang bersifat sekuler ke diplomasi yang berbasis budaya, yang memiliki dampak jangka panjang terhadap tatanan internasional, terutama dalam persaingan di kawasan Indo-Pasifik dan keadaan dunia yang multipolar.
REFERENSI
1. Hall, Ian. Modi and the Reinvention of Indian Foreign Policy. Bristol University Press, 2019. Tersedia di: https://www.researchgate.net/publication/356644214_Bharatiya_Janata_Party_the_Rise_of_Modi_and_Indian_Foreign_Policy
2. Jaffrelot, Christophe. The Hindu Nationalist Movement and Indian Politics: 1925 to the 1990s. Hurst & Company, 1996. Akses melalui: https://www.britannica.com/topic/Bharatiya-Janata-Party
3. Malik, Yogendra K., & Singh, V. B. Hindu Nationalists in India: The Rise of the Bharatiya Janata Party. Westview Press, 1994. Lihat: https://www.ijhssi.org/papers/vol7(3)/Version-5/D0703052531.pdf
4. Chacko, Priya. "The Rise of the Karatavyuha: The BJP’s Foreign Policy Vision." India Review, vol. 18, no. 4, 2019, hlm. 1–25. Tersedia di: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15570274.2024.2375839
5. Andersen, Walter K., & Damle, Shridhar D. The Brotherhood in Saffron: The RSS and Hindu Revivalism. Westview Press, 1987. Situs resmi BJP: https://www.bjp.org/historyanddevelopment
6. Huju, Kira. "Saffronizing Diplomacy." International Affairs, vol. 98, no. 2, 2022, hlm. 423–441. Tersedia di: https://academic.oup.com/ia/article/98/2/423/6522060
7. Carnegie Endowment. "In India, Foreign Policy Is on the 2024 Ballot." 2024. https://carnegieendowment.org/research/2024/04/in-india-foreign-policy-is-on-the-2024-ballot
8. The Diplomat. "Hindutva’s Realism in Modi’s Foreign Policy." 2021. https://thediplomat.com/2021/01/hindutvas-realism-in-modis-foreign-policy/

Copyright 2023 |Universitas Mulawarman